Ardi Syam
(Ketua Himpunan Budidaya Perairan Unhas Periode 2014-2015)
Lokasi pembudidayaudang windu terletak di Kabaupaten Maros Kecamatan Bontoa Desa Bonto
Bahari dimulai sejak tahun 1996, berdasarkan
keterangan dari kepala desa jumlah pembudidaya yang ada didesa ini yaitu +100 Orang dan
memiliki luas lahan +
85 ha dan tidak memiliki
kelompok pembudidaya di desa ini. Perkembang desa semakin maju ini ditandai
dengan meningkatnya peghasilan petambak dan penggunaan pupuk semakin
meningkat.Tetapi ada beberapa kendala-kendala yang dialami oleh pembudidaya
yaitu permasalahan Modal dan penyakit yang sering menyerang udang.Kendala
inilah yang nantinya dapat menyebabkan menurunnya penghasilan pada pembudidaya.
Responden pertama
H.
Ismail
yang berumur 45
tahun yang memiliki jumlah anggota keluarga 5
orang. Pekerjaan utamanya yaitu budidaya udang windu yang dimulai sejak tahun 1995 dan pekerjaan sebelum budidaya udang windu yaitu
nelayan. H. Ismail tidak ikut dalam kelompok pembudidaya
udang windu yang ada di Desa ini karena desa
tersebut tidak memiliki kelompok pembudidaya.
Luas
lahan yang dimiliki H. Ismail seluas 50
are satu petakan, lahan yang dikelolah berada pada kawasan
budidaya dan telah diusahakan sejak
tahun 1995.
Panen
dilakukan hanya dua kali siklus dalam satu tahun, penebaran dilalukan pada
bulan Januari
dan bulan april, padat
penebaran sebanyak 10
ribu dalam 50 are dalam satu petakan, produksi rendah pada bulan September sampai November karena
hujan dan pembudidaya tidak pernah melakukan antisipasi pada saat musim hujan.
Persiapan
tambak yang dilakukan oleh H. Ismail mulai dari pengeringan sampai penanganan
bibit yaitu: Pengeringan dilakukan hanya satu minggu. H. Ismail tidak
menggunakan kapur dalam persiapan tambaknya karena menurutnya tanah pada
tambaknya cukup bagus, pupuk yang digunakan oleh H. Ismail adalah urea dan TSPdengan dosis 100 kg dalam satu petakan, sumber air berasal dari laut, air laut sebelum dimasukkan
kedalam tambak disaring terlebih dahulu dengan menggunakan jaring melalui pintu
air, pintu air yang ada pada tambak tidak terpisah antara pintu air yang masuk
dengan pintu air keluar.
Bibit
yang digunakan oleh H. Ismail bersumber dari takalar dan barru Ujung Indah, Harapan dan surya.
Ukuran benur yang diambil dari hatchery post larvanya yaitu Pl 12. Alat trasportasi
yang digunakan untuk mengangkut tidak melakukan penanganan khusus ketika bibit
datang, tidak melakukan aklimatisasi pada bibit.
Selama
proses pemeliharaan berlangsung H. Ismail melakukan pengelolaan air dalam
tambak dilakukan tergantung dari kondisi ketika kualitas air mulai menurun
barulah dilakukan pergantian air untuk menjaga kualitas air.
Pegelolaan
pakan dalam tambak tidak menggunakan pakan buatan tetapi menggunakan ikan ruca
yaitu ikan mairo dan ikan kering,
ikan kering
dan
ikan
mairo dipotong potng kecil sebelum diberikan udang ikan kering yang digunakan
selama pemeliharaan sebanyak 500 kg.H. Ismail melakukan pengendalian penyakit
dalam tambak dengan carapanen dini untuk
mengatasi kerugian yang lebih parah. Tambak yang
dikelola H. Ismail menggunakan input teknologi pompa air 1 unit. Proses
pemanenan dilakukan dengan cara memasang
perangkat dalam tambak kemudian menurunkan air secara perlahan sampai yang ada
dalam tambak habis dan setelah udang tidak masuk semua keperangkat yang telah
dipasang maka langkan selanjutnya udang ditangkap satu persatu. Udang yang ada
dalam jaring dan udang yang ditangkap tadi dibersihkan terlebih dahulu kemudian
di masukkan kedalam sterofom kemudian di es.
Permasalahan
dalam budidaya yang dialami oleh H. Ismail ada dua masalah yang pertama adalah
masalah dalam penyediaan bibit karena jarang ada bibit pada saat musim
penebaran.Yang kedua penyakit. Penyakit yang sering muncul yang menyebabkan
udang mati yaitu WSSV penyakit ini ditandai dengan adanya bintik putih bagian kepala pada udang. H. Ismail tidak
masalah dengan pengelolaan air dan pada
proses pengolahan limbah juga tidak ada masalah, begitu juga dengan penjualan
dan pemarasaran serta masalah akses utuk mendapatkan bahan dan alat untuk
budidaya.
H.
Ismail tidak mengikuti forum pembudidaya dan menurutnya tidak pernah ada
dukungan dari pemerintah serta tidak pernah mendapakan bantuan dari pemerintah
sedangkan penyuluh dari dinas setempat sering datang ke Desanya.
Responden kedua
H.
Samuhung berumur 85
tahun dia memiliki anggota keluarga enam
orang , H. Samuhung mulai budidaya pada tahun 1976 pekerjaan sebelum budidaya adalah nelayan, budidaya adalah
pekerjaan utama. Beliau tidak ikut dalam kelompok budidaya karena menganggap bantuan tidak
tersalurkan dengan tepat kepada
masyarakat jika ada bantuan.Luas lahan yang dikelolah H.Samuhung seluas 2 Ha dan berjumlah 2 petakan, lahan yang dikelola berada pada
kawasan budidaya. Panen dilakukan dua kali dalam satu tahun terkadang hanya
satu kali penebaran dilakukan pada bulan februari
dan bulan april dengan padat penebaran 10.000
dalam 1 petakan.
Produksi rendah pada saat musim hujan lebih tepatnya pada bulan November sampai
desember dan sampai ssat ini belum ada antsipasi yang dilakukan pada saat musim
paceklik tersebut.panen satu siklus terakhir yang didapatkan oleh H.Samuhung paling rendah yaitu100 kg,. pada proses
persiapan tambak H. Samuhung melakukan pengeringan selama 1 minggu Pengepuran
tanah untuk persiapa tambaknya juga tidak pernah dilakukan, pupuk yang
digunakan pada tambak yaitu urea dan TSPdalam
1 ha 10 karung. Pestisida yang digunakan yaitu okidan dan saponin.Pestisida
ini dicampur dalam satu wadah kemudian tebarkan kedalam tambak setelah air dan
udang sudah tidak ada lagi dalam tambak. Ini berungsi untuk membunuh
hamasebelum melakukan penebaran kembali. H. Samuhung tidak menggunakan input
teknologi ( penambahan probiotik ). Air yang dimasukkan kedalam tambak
bersumber dari sungai sebelum air dimasukkan kedalam tambak air disaring dengan
menggunakan penyaringan melalui pintu air. Pintu air yang digunakan tidak
terpisah antara pintu pemasukan dengan pintu pengeluarn.bibit yang ditebar
bersumber dari penggelondong yang ada di desa setempat, bibit yang diambil
berukurab Pl 10
diangkut dengan menggunakan alat transportasi motor sedangkan untuk proses
aklimatisasi dilakukan dengan proses penebaran
secara perlahan-lahan.
Untuk
pengelolaan air dilakukan
pergantian air 1 kali/minggu dengan mengandalkan pasang surut.
Paada proses pengelolaan pakan dalam tambak H. Samuhung tidak mengguanakan pakan buatan karena mahal
dia hanya menggunakan indomie sebagai pakannya. Jika udang terkena penyakit
udang dilakukan panen dini untuk mencegah
kerugian.
H.Samuhung tidak mengguanakan kincir begitupun dengan pompa pada tambaknya.
Proses
pemanenan dilakukan dengan cara memasang jaring dalam tambak pada malam hari
kemudian air disurutkan ini dilakukan selama dua malam setelah itu air
dimasukkan kembali dan disurutkan lagi agar udang masuk kedalam jaring kemudian
dikeringkan dan dipanen secara
keseluruhan dengan cara ditangkap satu persatu. Setelah pemanenan udang, udang
dicuci bersih kemudian dibaa kepengepul.
H.
Samuhung selama ini tidak pernah merasa ada permasalahan dalam penyediaan
bibit. Permasalahan yang ada dalam
proses budidayanya yaitu penyakit penyakit yang biasanya menyebabkan
udang langsung mati mendadak dan tidak
pernah ada antisipasi yang dilakukan
untuk penularan penyakitnya. Responden juga tidak masalah dengan pembuangan
limbah, penjualan/pemasaran serta masalah dalam akses untuk mendapatkan bahan
dan alat untuk budidaya.
Petani menjual udangnya ke pengepul yang ada di desa yaitu
H. Baso
harga udang yang di jual dengan 10
ekor/kg Rp. 163.000. pengumpul yang ada di desa hanya tiga orang udang dijual
setelah dari pengepul di jual
lagi ke perusahaan Kima tidak jarang juga sering ada fluktuasi harga untuk
informasi harga udang biasa didapatkan dari pembeli/pengepul desa. Bantuan dan dukungan
dari pemerintah tidak pernah didapatkan oleh H. Samuhung sedangkan penyuluh
juga tidak pernah ada dari dinas setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar