Jumat, 22 Agustus 2014

Gambaran Prinsip Kerja Budidaya Ekstensif Udang Windu (Penaeus monodon) di Desa Bonto Bahari, Kec. Bontoa Kab. Maros

Ardi Syam
(Ketua Himpunan Budidaya Perairan Unhas Periode 2014-2015)

Lokasi pembudidayaudang windu terletak di Kabaupaten Maros Kecamatan Bontoa Desa Bonto Bahari dimulai sejak tahun 1996, berdasarkan keterangan dari kepala desa jumlah pembudidaya yang ada didesa ini yaitu  +100 Orang dan  memiliki luas lahan + 85 ha dan tidak memiliki kelompok pembudidaya di desa ini. Perkembang desa semakin maju ini ditandai dengan meningkatnya peghasilan petambak dan penggunaan pupuk semakin meningkat.Tetapi ada beberapa kendala-kendala yang dialami oleh pembudidaya yaitu permasalahan Modal dan penyakit yang sering menyerang udang.Kendala inilah yang nantinya dapat menyebabkan menurunnya penghasilan pada pembudidaya.

Responden pertama
H. Ismail yang berumur 45 tahun yang memiliki jumlah anggota keluarga 5 orang. Pekerjaan utamanya yaitu budidaya udang windu yang dimulai sejak tahun 1995 dan pekerjaan sebelum budidaya udang windu yaitu nelayan. H. Ismail tidak ikut dalam kelompok pembudidaya udang windu yang ada di Desa ini karena desa tersebut tidak memiliki kelompok pembudidaya.
Luas lahan yang dimiliki H. Ismail seluas 50 are satu petakan, lahan yang dikelolah berada pada kawasan budidaya dan telah diusahakan sejak  tahun 1995.
Panen dilakukan hanya dua kali siklus dalam satu tahun, penebaran dilalukan pada bulan Januari dan bulan april, padat penebaran sebanyak 10 ribu  dalam 50 are  dalam satu petakan, produksi rendah  pada bulan September sampai November karena hujan dan pembudidaya tidak pernah melakukan antisipasi pada saat musim hujan.
Persiapan tambak yang dilakukan oleh H. Ismail mulai dari pengeringan sampai penanganan bibit yaitu: Pengeringan dilakukan hanya satu minggu. H. Ismail tidak menggunakan kapur dalam persiapan tambaknya karena menurutnya tanah pada tambaknya cukup bagus, pupuk yang digunakan oleh H. Ismail adalah urea dan TSPdengan dosis 100 kg dalam satu petakan, sumber air berasal dari laut, air laut sebelum dimasukkan kedalam tambak disaring terlebih dahulu dengan menggunakan jaring melalui pintu air, pintu air yang ada pada tambak tidak terpisah antara pintu air yang masuk dengan pintu air keluar.
            Bibit yang digunakan oleh H. Ismail bersumber dari takalar dan barru Ujung Indah, Harapan dan surya. Ukuran benur yang diambil dari hatchery post larvanya yaitu Pl 12. Alat trasportasi yang digunakan untuk mengangkut tidak melakukan penanganan khusus ketika bibit datang, tidak melakukan aklimatisasi pada bibit.
Selama proses pemeliharaan berlangsung H. Ismail melakukan pengelolaan air dalam tambak dilakukan tergantung dari kondisi ketika kualitas air mulai menurun barulah dilakukan pergantian air untuk menjaga kualitas air.
Pegelolaan pakan dalam tambak tidak menggunakan pakan buatan tetapi menggunakan ikan ruca yaitu ikan mairo dan ikan kering, ikan kering dan ikan mairo dipotong potng kecil sebelum diberikan udang ikan kering yang digunakan selama pemeliharaan sebanyak 500 kg.H. Ismail melakukan pengendalian penyakit dalam tambak dengan carapanen dini untuk mengatasi kerugian yang lebih parah. Tambak yang dikelola H. Ismail menggunakan input teknologi pompa air 1 unit. Proses pemanenan  dilakukan dengan cara memasang perangkat dalam tambak kemudian menurunkan air secara perlahan sampai yang ada dalam tambak habis dan setelah udang tidak masuk semua keperangkat yang telah dipasang maka langkan selanjutnya udang ditangkap satu persatu. Udang yang ada dalam jaring dan udang yang ditangkap tadi dibersihkan terlebih dahulu kemudian di masukkan kedalam sterofom kemudian di es.
Permasalahan dalam budidaya yang dialami oleh H. Ismail ada dua masalah yang pertama adalah masalah dalam penyediaan bibit karena jarang ada bibit pada saat musim penebaran.Yang kedua penyakit. Penyakit yang sering muncul yang menyebabkan udang mati yaitu WSSV penyakit ini ditandai dengan adanya bintik putih  bagian kepala pada udang. H. Ismail tidak masalah dengan pengelolaan air dan pada proses pengolahan limbah juga tidak ada masalah, begitu juga dengan penjualan dan pemarasaran serta masalah akses utuk mendapatkan bahan dan alat untuk budidaya.
H. Ismail tidak mengikuti forum pembudidaya dan menurutnya tidak pernah ada dukungan dari pemerintah serta tidak pernah mendapakan bantuan dari pemerintah sedangkan penyuluh dari dinas setempat sering datang ke Desanya.

Responden kedua
H. Samuhung berumur 85 tahun dia memiliki anggota keluarga enam orang , H. Samuhung mulai budidaya pada tahun 1976 pekerjaan sebelum budidaya adalah nelayan, budidaya adalah pekerjaan utama. Beliau tidak ikut dalam kelompok  budidaya karena menganggap bantuan tidak tersalurkan dengan tepat kepada masyarakat jika ada bantuan.Luas lahan yang dikelolah H.Samuhung seluas 2 Ha dan berjumlah 2 petakan, lahan yang dikelola berada pada kawasan budidaya. Panen dilakukan dua kali dalam satu tahun terkadang hanya satu kali penebaran dilakukan pada bulan februari dan bulan april dengan padat penebaran 10.000 dalam 1 petakan. Produksi rendah pada saat musim hujan lebih tepatnya pada bulan November sampai desember dan sampai ssat ini belum ada antsipasi yang dilakukan pada saat musim paceklik tersebut.panen satu siklus terakhir yang didapatkan oleh H.Samuhung paling rendah yaitu100 kg,. pada proses persiapan tambak H. Samuhung melakukan pengeringan selama 1 minggu Pengepuran tanah untuk persiapa tambaknya juga tidak pernah dilakukan, pupuk yang digunakan pada tambak yaitu urea dan TSPdalam 1 ha 10 karung. Pestisida yang digunakan yaitu okidan dan saponin.Pestisida ini dicampur dalam satu wadah kemudian tebarkan kedalam tambak setelah air dan udang sudah tidak ada lagi dalam tambak. Ini berungsi untuk membunuh hamasebelum melakukan penebaran kembali. H. Samuhung tidak menggunakan input teknologi ( penambahan probiotik ). Air yang dimasukkan kedalam tambak bersumber dari sungai sebelum air dimasukkan kedalam tambak air disaring dengan menggunakan penyaringan melalui pintu air. Pintu air yang digunakan tidak terpisah antara pintu pemasukan dengan pintu pengeluarn.bibit yang ditebar bersumber dari penggelondong yang ada di desa setempat, bibit yang diambil berukurab Pl 10 diangkut dengan menggunakan alat transportasi motor sedangkan untuk proses aklimatisasi dilakukan dengan proses penebaran secara perlahan-lahan.
Untuk pengelolaan air dilakukan pergantian air 1 kali/minggu dengan mengandalkan pasang surut. Paada proses pengelolaan pakan dalam tambak H. Samuhung  tidak mengguanakan pakan buatan karena mahal dia hanya menggunakan indomie sebagai pakannya. Jika udang terkena penyakit udang dilakukan panen dini untuk mencegah kerugian. H.Samuhung tidak mengguanakan kincir begitupun dengan pompa pada tambaknya.
Proses pemanenan dilakukan dengan cara memasang jaring dalam tambak pada malam hari kemudian air disurutkan ini dilakukan selama dua malam setelah itu air dimasukkan kembali dan disurutkan lagi agar udang masuk kedalam jaring kemudian dikeringkan dan  dipanen secara keseluruhan dengan cara ditangkap satu persatu. Setelah pemanenan udang, udang dicuci  bersih kemudian dibaa kepengepul.
H. Samuhung selama ini tidak pernah merasa ada permasalahan dalam penyediaan bibit. Permasalahan yang ada dalam  proses budidayanya yaitu penyakit penyakit yang biasanya menyebabkan udang langsung mati mendadak  dan tidak pernah ada  antisipasi yang dilakukan untuk penularan penyakitnya. Responden juga tidak masalah dengan pembuangan limbah, penjualan/pemasaran serta masalah dalam akses untuk mendapatkan bahan dan alat untuk budidaya.
Petani menjual  udangnya ke pengepul yang ada di desa yaitu H. Baso harga udang yang di jual dengan 10 ekor/kg Rp. 163.000. pengumpul yang ada di desa hanya tiga orang udang dijual setelah dari pengepul di jual lagi ke perusahaan Kima tidak jarang juga sering ada fluktuasi harga untuk informasi harga udang biasa didapatkan dari pembeli/pengepul desa. Bantuan dan dukungan dari pemerintah tidak pernah didapatkan oleh H. Samuhung sedangkan penyuluh juga tidak pernah ada dari dinas setempat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar