Jumat, 15 April 2011

Epistemologi Perikanan Indonesia

Tidak satu hari pun kita lewati tanpa ditemani apa yang disebut dengan teknologi, akan tetapi kita menderita juga dengan adanya teknologi. Apa yang di katakan oleh Pak Jujun Suriasumantri di dalam bukunya Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, paling tidak 80% ada benarnya, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjasa meberikan kemudahan-kemudahan di dalam mendisain nasah-naskah ilmiah. Perjalanan sains dan teknologi juga sangat berperan di dalam pembangunan sistem kelautan dan perikanan di dunia secara global dan Indonesia pada khususnya. Sebagai tilik kaji melihat pasang surut perkembangan Kelautan dan Perikanan di Indonesia, manakala banyak orang awam berpendapat bahwa kita adalah negara maritim, saya melihat bagaimana perikanan tangkap di Indonesia di tinjau dari aspek filsafat dan analisis keberlanjutannya adalah murapakan cermin yang curam bahwa secara Ontologis, kita adalah negara maritim kaya dengan potensi perikanan laut Indonesia yang terdiri atas potensi perikanan pelagis dan perikanan demersal tersebar pada hampir semua bagian perairan laut Indonesia yang ada seperti pada perairan laut teritorial, perairan laut nusantara dan perairan laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Luas perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia sebesar 81.000 km dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17.508, memiliki potensi ikan yang diperkirakan terdapat sebanyak 6.26 juta ton pertahun yang dapat dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4.4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1.86 juta ton dapat diperoleh dari perairan ZEEI. Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah mengalami berbagai peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat memberi kekuatan dan peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan perekonomian dan peningkatan pendapatan masyarakat nelayan Indonesia.

Sisi Epistimologisnya bahwa profil nelayan tradisional walaupun pada umumnya cukup terampil menggunakan peralatan yang dimilikinya dengan sarana penangkapan ikan dan kemampuan yang sangat terbatas dan seringkali sulit untuk ditingkatkan ke arah yang lebih modern. Posisi ekonomi nelayan yang sangat readah diakibatkan karena modal terbatas, produktivitas yang rendah dengan hasil tangkapan ikan yang tidak menentu sebagai akibat pengaruh musim, juga dengan jaminan pemasaran ikan yang tidak menentu karena masih terdapatnya berbagai kendala dalam penentuan harga jual pada tingkat nelayan. Hal lain yang juga menarik adalah kondisi psikologis dan sosologis masyarakat nelayan, umumnya berada dalam lingkungan hidup sosial yang cenderung tidak memikirkan hari depannya, dan karenanya kurang kesadaran untuk menyimpan sebagian pendapatan yang diperolehnya terutama pada saat musim ikan. Kondisi seperti di atas ternyata merupakan peluang bagi tumbuh suburnya para tengkulak, dengan memanfaatkan berbagai macam kelemahan yang dimiliki para nelayan tradisional. Aspek Theologi, ada satu prinsip yang harus dipegang dalam kebijakan perikanan dan kelautan saat ini dan yang akan datang bahwa " Bagaimanapun juga nelayan Indonesia harus mampu menjadi tuan rumah di lautnya sendiri". Untuk mencapai hal tersebut, maka harus diupayakan mentransformasi para nelayan tradisonal kita menjadi nelayan modern yang tangguh untuk memanfaatkan semua potensi sumberdaya ikan yang ada, yang sekaligus dapat memainkan peran ganda dalam membantu menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai praktek ilegal yang dilakukan di laut, terutama oleh nelayan-nelayan kapal asing yang masih berseliwuran menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa dapat dihentikan.

(Grad Student, System and Modelling Fish. Mngt, Bogor Agricultural Univ.)

2 komentar: