Makassar, 23 Mei 2010 | Astronot, dokter, presiden, dan anggota dewan. kira-kira hanya itu yang muncul dalam imaji kita untuk men-jadi. Kejayaan bahari nusantara hanya akan menjadi buku tak termiliki apalagi terbaca oleh pribadi-pribadi yang teralienasi hegemoni imperialis. Sejarah Revolusi hijau indonesia tak lepas dari politik konspirasi dunia untuk melemahkan dan menjerumuskan diri ke lubang ketergantungan. Revolusi biru pun muncul bukan sebagai pengetahuan alamiah tapi sebagai tuntutan kronis; dampak sistemik atas kebodohan dan terdistorsinya jati diri.
Bapak Fredy Numberi yang kala itu Menteri DKP dengan sangat percaya diri mengatakan "Sebagai bangsa bahari terbesar di dunia, Indonesia sudah seharusnya mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana, demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, sekaligus sebagai perekat bagi persatuan dan kesatuan bangsa."
Memang betul perlunya pembangunan berbasis kelautan, tapi ingat kita belum menjadi bangsa maritim, apalagi yang terbesar karena laut tetap menjadi potensi yang masih belum bisa teraktualkan. Membangun laut berarti membangun bangsa, mempertegas jati diri yang hakikatnya menjadi sebuah keniscayaan bagi negara yang tak kunjung maju dalam perjalanannya selepas kemerdekaan.
5,8 juta kilometer persegi luas wilayah laut dengan segala potensi yang terkandung tiba-tiba terasa hambar. Memang termiliki tapi bagaimana hal ini bisa diolah dan dimaksimalkan sebagai sebuah anugerah dengan menjadikannya maistream kebijakan pembangunan. Tak ada kata "merubah paradigma" melainkan "mempertegas jati diri" untuk pembangunan bangsa yang mandiri, sejahtera, maju dan disegani. Sebuah penegasan akan identitas bangsa maritim yang semestinya telah menjelma sebagai wajah peradaban Indonesia.
Oleh Ghamal Nasser Wahab
(Presiden BEM KEMAPI FIKP UH 2010-2011)
Memang betul perlunya pembangunan berbasis kelautan, tapi ingat kita belum menjadi bangsa maritim, apalagi yang terbesar karena laut tetap menjadi potensi yang masih belum bisa teraktualkan. Membangun laut berarti membangun bangsa, mempertegas jati diri yang hakikatnya menjadi sebuah keniscayaan bagi negara yang tak kunjung maju dalam perjalanannya selepas kemerdekaan.
5,8 juta kilometer persegi luas wilayah laut dengan segala potensi yang terkandung tiba-tiba terasa hambar. Memang termiliki tapi bagaimana hal ini bisa diolah dan dimaksimalkan sebagai sebuah anugerah dengan menjadikannya maistream kebijakan pembangunan. Tak ada kata "merubah paradigma" melainkan "mempertegas jati diri" untuk pembangunan bangsa yang mandiri, sejahtera, maju dan disegani. Sebuah penegasan akan identitas bangsa maritim yang semestinya telah menjelma sebagai wajah peradaban Indonesia.
Oleh Ghamal Nasser Wahab
(Presiden BEM KEMAPI FIKP UH 2010-2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar