Bocah telanjang dada di pesisir
Tunggu kembalinya bapak tercinta
Yang pergi tebarkan jala disana
Berjuang di atas perahu tunggakan KUD
Ibu dengan kebaya yang kemarin
Setia dari balik dapur menanti
Suaminya yang seminggu pergi
Tinggalkan rumah
Tinggalkan sejengkal harapan
Langkah waktu lamban
Bagai kura-kura
Ikan yang datang mimpi
Siang ganti malam tetap sabar
Suami pun pulang, lelah
Sambil berlari sang bocah hampiri bapak
Tagih janji yang dipesan ketika pergi
Sementara istrinya hanya memandang
Dengan senyum pasti
Selintas terlintas
Hutang-hutang yang membelit
Sang bocah tak perduli
Menangis keras tetap tagih janji
Perahu tunggakan KUD belum terbayar
Belum lagi tagihan rentenir seberang jalan
Nelayan kecil hasil kecil nasibmu kecil
Terjerat jala dihantam kerasnya gelombang
Perahu tunggakan KUD belum terbayar
Hitam....hidup
Mungkin tidak banyak yang tahu, tanggal 6 April itu diperingati sebagai hari apa? Saya sendiri baru mengetahui kalau ternyata pada hari itu diperingati sebagai Hari Nelayan. Momentum ini barangkali menjadi saat yang tepat untuk sekedar berempati dengan nasib para nelayan yang hingga saat ini masih termarginalkan.
Nasib nelayan yang dilolongkan Iwan Fals dalam lagu berjudul Nelayan di atas rasanya bisa sedikit memberikan gambaran kehidupan nelayan kecil. Sengaja saya tuliskan versi lengkapnya, karena lagu itu menceritakan sebuah balada serang nelayan kecil dengan beragam problematikanya serta penghasilan yang pas-pasan. Sementara tuntutan kehidupan begitu tinggi.
Dan memang begitulah faktanya. Ketika saya menelusuri sejumlah kampung-kampung nelayan, seperti Belawan, Serdang Bedagai dan pesisir Langkat, ternyata jumlah nelayan yang memiliki alat produksi berupa perahu dan jala itu sangat sedikit. Yang lebih banyak adalah buruh nelayan. Diupah melalui sistem bagi hasil dengan pemilik alat produksi atau disebut toke. Satu hari seorang nelayan berpenghasilan antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000.
Kenaikan harga ikan yang akhir-akhir ini terjadi ternyata tidak banyak pengaruhnya terhadap nelayan. Mereka tetap saja terbelakang. Hidup di pinggiran laut dengan sanitasi yang buruk, pendidikan rendah dan hutang yang melilit pinggang. Ancaman marginalisasi ini semakin memuncak disebabkan ancaman pukat harimau (nelayan Belawan menyebutnya, Pei) di tengah laut.
Kendati telah ada aturan yang menetapkan pukat trawl memiliki zona sendiri untuk operasionalnya, tetapi tetap saja pinggiran laut yang menjadi wilayah tangkapan nelayan tradisional ikut digarap pukat trawl yang umumnya adalah nelayan pengusaha dengan modal yang tidak sedikit. Terumbu karang rusak dan yang lebih ironis adalah, hasil laut yang sejatinya menjadi "jatah" nelayan tradisional ikut tergasak.
Operasional pukat trawl dan limbah industri yang mengalir jauh dari hulu dan berkumpul di laut telah mengancam populasi hasil laut dan pada akhirnya kehidupan nelayan tradisionallah yang menjadi taruhannya. Sangat ironis, ketika gambaran kehidupan nelayan yang sangat miskin dan terbelakang, di pihak lain, sektor nelayan sebenarnya memberikan devisa yang cukup besar.
Departemen Perikanan mencatat, beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan yaitu, rendahnya tingkat teknologi penangkapan, kecilnya skala usaha, belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan status nelayan yang sebagian besar adalah buruh.
Saat ini persoalan nelayan masih harus ditambahi lagi dengan cuaca yang tidak menentu selama tiga hingga empat tahun terakhir. Sepanjang itu, masa paceklik ikan seolah berlangsung sepanjang tahun dan hasil tangkapan nelayan kecil menjadi menurun drastis. Harga BBM turut menambah daftar panjang itu. Kenaikan harga BBM berarti adalah juga kenaikan biaya produksi. Sementara hasil tangkapan sudah pasti tidak mengalami peningkatan.
Segala permasalahan nelayan ini akhirnya, dituturkan Edy Suntoro dari Departemen Pertanian menjadikan nelayan terjerat dalam beberapa persoalan yaitu, dikuasai tengkulak. Dengan pendapatan rendah, nelayan sulit meningkatkan kemampuan dan kemandiriannya. Ironisnya, kondisi nelayan tradisional tersebut tidak saja dialami para orang tua nelayan yang notabene sudah puluhan tahun menjadi nelayan, tetapi anak-anak mereka pun tidak sedikit yang mengalaminya.
Para nelayan mengakui peranan tengkulak dalam kehidupan tengkulak dalam kehidupan nelayan sangat dominan bahkan terkesan telah mengendalikannya secara semena-mena oleh karena nelayan tidak lagi dapat merasakan kepuasan dari pekerjaannya sebab terikat dengan peraturan yang ditetapkan tengkulak.
Sistem kerja para tengkulak ini memang sangat rumit, di satu sisi memberikan benturan modal sehingga nelayan dapat melaut namun di sisi lain juga menetapkan persyaratan yang dampaknya mencekik batang leher para nelayan. Memang untuk mendapatkan modal dari tengkulak ini ada dua cara yakni nelayan datang kepada tengkulak untuk meminjam uang dan kedua, tengkulak tersebut yang mengumpulkan para nelayan agar menerima bantuan modal.
Walaupun berbagai perhatian telah diberikan, dampaknya hingga kini belum banyak dirasakan nelayan tradisional. Hal yang sangat urgen sekarang ini adalah melakukan pemberdayaan terhadap nelayan. Yang penting dilakukan untuk memberdayakan nelayan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya dengan antara lain, memberikan bantuan permodalan dan sarana kerja yang memadai, sehingga mereka bisa mengembangkan usaha seperti yang diharapkan. Bantuan tersebut selain harus melalui prosedur sederhana, juga bunganya harus lebih rendah dari yang diberikan tengkulak agar nelayan itu bisa lepas dari jeratan tengkulak.
Hal yang tidak kalah penting adalah perlunya dilakukan rehabilitasi lingkungan pesisir yang rusak. Jika hal tersebut dibiarkan, dikhawatirkan dapat berakibat selain semakin rusaknya lingkungan pesisir laut, sumber daya perikanannya juga akan semakin berkurang, padahal jumlah nelayan justru terus bertambah banyak.
Pembinaan dan penyuluhan yang diberikan kepada nelayan harus disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga apa yang disuluhkan benar-benar bermanfaat dan bisa diaplikasikan. Hal ini sangat penting untuk lebih meningkatkan kemampuan dan kemandirian nelayan.
Selain pengetahuan praktis seperti penanganan pascapanen dan pengolahan hasil laut, hal yang tidak kalah penting dalam memberdayakan nelayan, khususnya anak-anak dan generasi muda adalah perlunya pemerintah mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan tempat tinggal nelayan, sehingga mereka tetap dapat mengikuti pelajaran di sekolah sebagaimana anak-anak seusia mereka lainnya. Kalau saja upaya pemberdayaan di atas dapat dilakukan, maka program wajib belajar di lingkungan nelayan pun bisa tercapai.
Di sisi lain, harapan akan adanya peningkatan kesejahteraan dan kemampuan nelayan pun akan semakin nyata. Jika saja peningkatan kemampuan sumber daya manusia nelayan ini bisa dilaksanakan melalui program yang baik, konsisten dan berkesinambungan, diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama para nelayan tradisional yang serba kekurangan bisa naik kelas menjadi nelayan modern seperti yang diharapkan.
Revitalisasi Perikanan
Kalau Revitalisasi Perikanan telah dicanangkan saat SBY baru saja menduduki kursi Presiden, - namun hingga kini masih banyak yang mempertanyakan konsistensinya - program Revitalisasi Perikanan rencananya akan dijalankan hingga 2009.
Melalui program ini, pemerintah berkomitmen untuk memfokuskan revitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi berupa berbagai kegiatan usaha bidang penangkapan ikan dan budidaya perikanan, serta mengoptimalkan operasional unit usaha pengolahan ikan dalam negeri. Program itu juga diharapkan bisa menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru berupa pemanfaatan peluang usaha perikanan yang masih memiliki prospek cerah di masa yang akan datang.
Sumatera Utara dengan jumlah nelayan sekitar 320.000 yang tersebar di 13 kabupaten/kota adalah juga merupakan daerah yang sangat mengharapkan adanya program-progam yang lebih ril untuk pemberdayaan. Bayangkan saja, dari keseluruhan jumlah tersebut, 70% adalah nelayan tradisional yang kehidupannya masih di bawah garis kemiskinan. Melalui program ini diharapkan, sumber daya alam yang selama ini menjadi mata pencaharian nelayan dikelola dengan sebaik-baiknya dan bukan hanya mengutamakan kepentingan pemodal.
Lantas bagaimanakah program revitalisasi berakhir, kita tunggu komitmen dan konsistensi pemerintah, agar kehidupan nelayan tidak terus menerus dalam lingkaran kemiskinan yang menjerat.
Karya Eti Wahyuni tentang Hari Nelayan 06 April
Sumber: http://mitrafm.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79&Itemid=92
Langkah waktu lamban
Bagai kura-kura
Ikan yang datang mimpi
Siang ganti malam tetap sabar
Suami pun pulang, lelah
Sambil berlari sang bocah hampiri bapak
Tagih janji yang dipesan ketika pergi
Sementara istrinya hanya memandang
Dengan senyum pasti
Selintas terlintas
Hutang-hutang yang membelit
Sang bocah tak perduli
Menangis keras tetap tagih janji
Perahu tunggakan KUD belum terbayar
Belum lagi tagihan rentenir seberang jalan
Nelayan kecil hasil kecil nasibmu kecil
Terjerat jala dihantam kerasnya gelombang
Perahu tunggakan KUD belum terbayar
Hitam....hidup
Mungkin tidak banyak yang tahu, tanggal 6 April itu diperingati sebagai hari apa? Saya sendiri baru mengetahui kalau ternyata pada hari itu diperingati sebagai Hari Nelayan. Momentum ini barangkali menjadi saat yang tepat untuk sekedar berempati dengan nasib para nelayan yang hingga saat ini masih termarginalkan.
Nasib nelayan yang dilolongkan Iwan Fals dalam lagu berjudul Nelayan di atas rasanya bisa sedikit memberikan gambaran kehidupan nelayan kecil. Sengaja saya tuliskan versi lengkapnya, karena lagu itu menceritakan sebuah balada serang nelayan kecil dengan beragam problematikanya serta penghasilan yang pas-pasan. Sementara tuntutan kehidupan begitu tinggi.
Dan memang begitulah faktanya. Ketika saya menelusuri sejumlah kampung-kampung nelayan, seperti Belawan, Serdang Bedagai dan pesisir Langkat, ternyata jumlah nelayan yang memiliki alat produksi berupa perahu dan jala itu sangat sedikit. Yang lebih banyak adalah buruh nelayan. Diupah melalui sistem bagi hasil dengan pemilik alat produksi atau disebut toke. Satu hari seorang nelayan berpenghasilan antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000.
Kenaikan harga ikan yang akhir-akhir ini terjadi ternyata tidak banyak pengaruhnya terhadap nelayan. Mereka tetap saja terbelakang. Hidup di pinggiran laut dengan sanitasi yang buruk, pendidikan rendah dan hutang yang melilit pinggang. Ancaman marginalisasi ini semakin memuncak disebabkan ancaman pukat harimau (nelayan Belawan menyebutnya, Pei) di tengah laut.
Kendati telah ada aturan yang menetapkan pukat trawl memiliki zona sendiri untuk operasionalnya, tetapi tetap saja pinggiran laut yang menjadi wilayah tangkapan nelayan tradisional ikut digarap pukat trawl yang umumnya adalah nelayan pengusaha dengan modal yang tidak sedikit. Terumbu karang rusak dan yang lebih ironis adalah, hasil laut yang sejatinya menjadi "jatah" nelayan tradisional ikut tergasak.
Operasional pukat trawl dan limbah industri yang mengalir jauh dari hulu dan berkumpul di laut telah mengancam populasi hasil laut dan pada akhirnya kehidupan nelayan tradisionallah yang menjadi taruhannya. Sangat ironis, ketika gambaran kehidupan nelayan yang sangat miskin dan terbelakang, di pihak lain, sektor nelayan sebenarnya memberikan devisa yang cukup besar.
Departemen Perikanan mencatat, beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan yaitu, rendahnya tingkat teknologi penangkapan, kecilnya skala usaha, belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan status nelayan yang sebagian besar adalah buruh.
Saat ini persoalan nelayan masih harus ditambahi lagi dengan cuaca yang tidak menentu selama tiga hingga empat tahun terakhir. Sepanjang itu, masa paceklik ikan seolah berlangsung sepanjang tahun dan hasil tangkapan nelayan kecil menjadi menurun drastis. Harga BBM turut menambah daftar panjang itu. Kenaikan harga BBM berarti adalah juga kenaikan biaya produksi. Sementara hasil tangkapan sudah pasti tidak mengalami peningkatan.
Segala permasalahan nelayan ini akhirnya, dituturkan Edy Suntoro dari Departemen Pertanian menjadikan nelayan terjerat dalam beberapa persoalan yaitu, dikuasai tengkulak. Dengan pendapatan rendah, nelayan sulit meningkatkan kemampuan dan kemandiriannya. Ironisnya, kondisi nelayan tradisional tersebut tidak saja dialami para orang tua nelayan yang notabene sudah puluhan tahun menjadi nelayan, tetapi anak-anak mereka pun tidak sedikit yang mengalaminya.
Para nelayan mengakui peranan tengkulak dalam kehidupan tengkulak dalam kehidupan nelayan sangat dominan bahkan terkesan telah mengendalikannya secara semena-mena oleh karena nelayan tidak lagi dapat merasakan kepuasan dari pekerjaannya sebab terikat dengan peraturan yang ditetapkan tengkulak.
Sistem kerja para tengkulak ini memang sangat rumit, di satu sisi memberikan benturan modal sehingga nelayan dapat melaut namun di sisi lain juga menetapkan persyaratan yang dampaknya mencekik batang leher para nelayan. Memang untuk mendapatkan modal dari tengkulak ini ada dua cara yakni nelayan datang kepada tengkulak untuk meminjam uang dan kedua, tengkulak tersebut yang mengumpulkan para nelayan agar menerima bantuan modal.
Walaupun berbagai perhatian telah diberikan, dampaknya hingga kini belum banyak dirasakan nelayan tradisional. Hal yang sangat urgen sekarang ini adalah melakukan pemberdayaan terhadap nelayan. Yang penting dilakukan untuk memberdayakan nelayan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya dengan antara lain, memberikan bantuan permodalan dan sarana kerja yang memadai, sehingga mereka bisa mengembangkan usaha seperti yang diharapkan. Bantuan tersebut selain harus melalui prosedur sederhana, juga bunganya harus lebih rendah dari yang diberikan tengkulak agar nelayan itu bisa lepas dari jeratan tengkulak.
Hal yang tidak kalah penting adalah perlunya dilakukan rehabilitasi lingkungan pesisir yang rusak. Jika hal tersebut dibiarkan, dikhawatirkan dapat berakibat selain semakin rusaknya lingkungan pesisir laut, sumber daya perikanannya juga akan semakin berkurang, padahal jumlah nelayan justru terus bertambah banyak.
Pembinaan dan penyuluhan yang diberikan kepada nelayan harus disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga apa yang disuluhkan benar-benar bermanfaat dan bisa diaplikasikan. Hal ini sangat penting untuk lebih meningkatkan kemampuan dan kemandirian nelayan.
Selain pengetahuan praktis seperti penanganan pascapanen dan pengolahan hasil laut, hal yang tidak kalah penting dalam memberdayakan nelayan, khususnya anak-anak dan generasi muda adalah perlunya pemerintah mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan tempat tinggal nelayan, sehingga mereka tetap dapat mengikuti pelajaran di sekolah sebagaimana anak-anak seusia mereka lainnya. Kalau saja upaya pemberdayaan di atas dapat dilakukan, maka program wajib belajar di lingkungan nelayan pun bisa tercapai.
Di sisi lain, harapan akan adanya peningkatan kesejahteraan dan kemampuan nelayan pun akan semakin nyata. Jika saja peningkatan kemampuan sumber daya manusia nelayan ini bisa dilaksanakan melalui program yang baik, konsisten dan berkesinambungan, diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama para nelayan tradisional yang serba kekurangan bisa naik kelas menjadi nelayan modern seperti yang diharapkan.
Revitalisasi Perikanan
Kalau Revitalisasi Perikanan telah dicanangkan saat SBY baru saja menduduki kursi Presiden, - namun hingga kini masih banyak yang mempertanyakan konsistensinya - program Revitalisasi Perikanan rencananya akan dijalankan hingga 2009.
Melalui program ini, pemerintah berkomitmen untuk memfokuskan revitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi berupa berbagai kegiatan usaha bidang penangkapan ikan dan budidaya perikanan, serta mengoptimalkan operasional unit usaha pengolahan ikan dalam negeri. Program itu juga diharapkan bisa menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru berupa pemanfaatan peluang usaha perikanan yang masih memiliki prospek cerah di masa yang akan datang.
Sumatera Utara dengan jumlah nelayan sekitar 320.000 yang tersebar di 13 kabupaten/kota adalah juga merupakan daerah yang sangat mengharapkan adanya program-progam yang lebih ril untuk pemberdayaan. Bayangkan saja, dari keseluruhan jumlah tersebut, 70% adalah nelayan tradisional yang kehidupannya masih di bawah garis kemiskinan. Melalui program ini diharapkan, sumber daya alam yang selama ini menjadi mata pencaharian nelayan dikelola dengan sebaik-baiknya dan bukan hanya mengutamakan kepentingan pemodal.
Lantas bagaimanakah program revitalisasi berakhir, kita tunggu komitmen dan konsistensi pemerintah, agar kehidupan nelayan tidak terus menerus dalam lingkaran kemiskinan yang menjerat.
Karya Eti Wahyuni tentang Hari Nelayan 06 April
Sumber: http://mitrafm.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79&Itemid=92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar