Dasar Pemikiran
Istilah
ekokrasi atau kekuasaan ekologi yang diterjemahkan sebagai kedaulatan
lingkungan menjadi isu yang tengah ramai dibicarakan bukan hanya di Indonesia
tetapi di dunia global. Hal ini terjadi karena adanya ancaman mengkhawatirkan
dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh rasa percaya diri berlebih (over confident) manusia dalam melakukan
berbagai upaya eksploitasi akibat pergeseran budaya manusia dari tahap mistis
ketika manusia menggantungkan diri sepenuhnya pada alam baik untuk keperluan
sandang, papan maupun pangan menuju tahap manusia yang mengenali lmu
pengetahuan dan teknologi sehingga memposisikan dirinya sebagai subjek yang
bisa mengatur, menentukan serta menguasai pemanfaatan akan sumberdaya alam.
Eksploitasi besar-besaran akan sumberdaya alam ini menandakan ciri-ciri
berkembangnya sikap anthropocentris di
era yang serba modern ini. Antroposentrisme sendiri tidak hanya diartikan
sebagai simbol kerakusan manusia sistemik yang bersifat individual tetapi
melekat juga pada teknologi, ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, dan struktur
kekuasaan para pemegang kekuasaan dan pemegang otoritas (susilo, 2009). Dalam
hal ini Susilo secara gamblang menjelaskan mengapa pada akhirnya isu lingkungan
sangat erat kaitannya dengan kebijakan, yaitu antroposentrismelah yang membuat
banyak kebijakan dikeluarkan pemerintah dengan mengabaikan lingkungan.
Di dunia
global ekokrasi terwujud dalam bentuk green
constitution meskipun baru beberapa Negara yang dengan tegas memasukan
bahasan lingkungan dalam bentuk konstitusi diantaranya Portugal, prancis dan ekuador namun tentu
saja banyak Negara lain yang telah melakukan upaya legislasi lingkungan hidup
sebagaimana dituliskan oleh Prof. Dr. Jimly Assiddiqie bahwa upaya mewujudkan
ekokrasi ini melalui dua tahap, yang pertama legislasi lingkungan hidup,
kemudian konstitusionalisasi lingkungan hidup. Bagaimana dengan Indonesia?
Sudahkah Indonesia memiliki konstitusi yang sifatnya pro lingkungan (green constitution)? Rupanya Indonesia
termasuk salahsatu Negara yang saat ini tidak hanya telah melakukan legislasi
lingkungan hidup melalui UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan
hidup serta peraturan pemerintah lain tentang lingkungan hidup, melainkan juga
telah melakukan konstitusionalisasi lingkungan hidup yang tercantum dalam pasal
28H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Namun
rupanya nuansa hijau dalam UUD 1945 ini tidak serta merta menjamin pembangunan
yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Masih terlalu banyak kegiatan
ekonomi yang bersifat eksploitasi sumberdaya dan menjadi penyebab utama
kerusakan lingkungan. Hal ini bukan hanya Karena prinsip demokrasi yang
bersifat antroposentris tapi juga adanya kebiasan para pembuat kebijakan dalam
menafsirkan dan mengimplementasikan pasal bernuansa hijau dalam UUD 1945,
tambahan pula tumpang tindihnya undang-undang antar sektor yang pada akhirnya
selalu mendesak undang-undang lingkungan. Ketika UU lingkungan dihadapkan
dengan UU pertambangan misalnya kita sudah menebak mana yang kemudian
dikesampingkan. Akibatnya kebutuhan akan payung hukum yang lebih kuat berupa
konstitusionalisasi lingkungan hidup dalam UUD 1945 tak bisa dihindarkan, perlu ada penekanan terhadap semua kebijakan,
perlu ada landasan kuat untuk mempertahankan lingkungan ketika diperhadapkan
pada kegiatan ekonomi dan pembangunan. Bahwa ternyata nuansa hijau UUD 1945
masih perlu diperkuat tak dapat dipungkiri. Belum lagi perusahaan asing yang
hilir mudik menggarap sumberdaya Indonesia dan dianggap sebagai sumber devisa
Negara sehingga melumpuhkan penerapan hukum dan semakin membiaskan nuansa hijau
UUD 1945 menjadi bukti bahwa sudah saatnya memberi ruang pada alam untuk
menyuarakan kedaulatannya.
Beberapa
permasalahan tentang kedaulatan lingkungan dalam konstitusi Negara kita,
penerapan serta dampaknyalah yang akan kita perbincangkan seraya bertukar
ide-ide kritis membenahi hal-hal yang terlihat tidak pada tempatnya melalui
momentum Latihan Kepemimpinan (LK2) BEM Keluarga Mahasiswa Perikanan UNHAS yang
bertema Deliberasi Ekokrasi sebagai Upaya Pencapaian Kedaulatan Lingkungan
Atas dasar pemikiran ini, maka kami dari Keluarga Mahasiswa Perikanan Universitas Hasanuddin sebagai bagian
integral dari masyarakat Indonesia berkehendak untuk melaksanakan Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah sebagai bagaian dari upaya peningkatan
kapasitas untuk dapat menjalankan fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan secara
konstruktif di era globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar