Fenomena globalisasi
perikanan dapat dianalisis dalam tiga dimensi, yaitu (a) globalisasi produksi,
(b) globalisasi pengelolaan sumberdaya, dan (c) globalisasi perdagangan. Setiap
dimensi tersebut akan dianalisis dalam satu bab, dan di akhir setiap bab akan
dianalisis pula bagaimana posisi Indonesia.
Globalisasi produksi muncul akibat munculnya anggapan bahwa produksi perikanan suatu negara tidak bisa terlepas negara lain dan duniaintemasional. Ketergantungan dengan dunia luar bisa dalam bentuk ketergantungan sarana produksi dan investasi. Sebagai gambaran, saat ini total produksi perikanan dunia mencapai 145 juta ton, yang masih didominasi perikanan tangkap (64%) dan budidaya (36%). Sumbangan negara sedang berkembang (NSB) terhadap total produksi dunia mencapai 80%, dan terhadap produksi budidaya lebih dari 90%. Bayangkan kontribusi Cina sendiri sudah mencapai 67%. Globalisasi produksi kini terlihat terjadinya krisis faktor produksi yang sama, yang salah satunya adalah bahan bakar minyak (BBM).
Semua negara produsen perikanan sangat tergantung pada suplai BBM. Globalisasi produksi terasa tatkala semua negara kini merasakan krisis faktor produksi yang sama, seperti krisis energi. Harga BBM yang mencapai lebih dari 140 USD/barel tentu memukul usaha perikanan tangkap.
Pauly et.al memprediksi bahwa perikanan dunia telah mengkonsumsi 50 milyar liter bahan bakar atau 1,2% konsumsi dunia untuk menghasilkan 80 juta ton ikan. Jadi, untuk menangkap satu ekor ikan butuh 0,62 liter BBM. Rasio ikan/liter bahan bakar ini tentu lebih tinggi dari produksi protein hewani lainnya. Di Amerika Serikat, telah dihitung bahwa trawl butuh satu liter BBM/kilogram ikan, sementara gillnet sepertiga literlkilogram, dan purse seine 0,03 liter/kilogram. Dengan sendirinya trawl dimana-mana diprediksi akan makin menurun. Di Vietnam, pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan mencapai 52% (trawl), 40% longline, 20% (purse seine).
Di Indonesia juga kurang lebih sama. Tentu globalisasi produksi juga terkait dengan dengan globalisasi investasi dimana masuknya kapal dan industri perikanan asing seolah tak terelakkan. Kerugian kita dari illegal fishing mencapai 1-4 milyar rupiah/kapal/tahun, dan ada sekitar
1000 kapal yang dapat dikategorikan ilegal, sehingga kerugian mencapai 1-4 triliun rupiah/tahun. Namun berbagai kebijakan anti kapal asing belum memberikan hasil yang maksimal.
Sementara itu globalisasi pengelolaan sumberdaya juga mengemuka karena munculnya opini global bahwa perikanan dunia dalam kondisi kritis, sehingga perlu pengelolaan bersama. Baik NSB maupun NM dituntut untuk tunduk pada aturan-aturan intemasional tentang bagaimana mengelola sumberdaya
supaya lestari, kalau tidak mau dituduh melakukan IUU (illegal, unregulated,unreported) Fishing, termasuk di dalamnya pencurian ikan dan tangkapan yang tidak dilaporkan. Nilai IUU fishing di dunia kini nilainya telah mencapai 15 milyar USD. FAO mencatat sekitar 30% hasil tangkapan ikan-ikan tertentu di dunia tergolong IUU fishing. Di Afrika bisa mencapai 50%. Di UE, IUU masih berlangsung karena bisa menghemat 20% produksi dari pada praktek yang legal. Saat ini Uni Eropa (UE) yang paling gencar membasmi karena ternyata 9% produk impor LIE berasal dari IUU fishing. Karena itu EU menerapkan EU Catch Certification Scheme yang akan mengontrol produk-produk ikan yang masuk ke pasar EU.
Kini kita harus menjadi anggota RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations) atau komisi pengelolaan perikanan regional, kalau kita hendak menangkap ikan di wilayah tersebut. Seperti, untuk menangkap tuna di samudera Hindia kita harus menjadi anggota IOTC (Indian Tuna Commission), juga CCSBT (Convention of Conservation for Southers Bluefin Tuna), dan di Pasifik kita harus menjadi anggota WCPFC (Western Central Pacific Fisheries Committee). Kalau kita tidak menjadi anggota RFMOs tersebut maka akan dianggap ilegal, dan produk kita akan diembargo di pasar internasional. Embargo untuk tuna sirip biru kita berlaku di Jepang sejak tahun 2005 karena kita tidak menjadi anggota CCSBT. Padahal, spawning ground tuna tersebut ada di wilayah selatan Indonesia, yang mestinya kita berhak atas tuna tersebut. Jepang yang tidak punya akses langsung ke perairan CCSBT maupun IOTC temyata dominan. Begitu pula UE yang tidak punya akses langsung ke perairan WCPFC juga kuat. Namun kini kita sudah menjadi anggota kedua RFMO tersebut. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dunia adalah masalah politik intemasional, dan tidak hanya masalah teknis.
Isu ketiga adalah globalisasi perdagangan dan isu subsidi. Pada tahun 2007, ekspor produk perikanan dunia mencapai 93 milyar USD dan tumbuh sekitar 9%, dan kontribusi NSB dan NM sama, yakni 50-50. NSB menikmati penerimaan bersih sekitar 25 milyar USD dari ekspornya. Pasar dunia terbesar LIE (42.7%), Jepang (15.6%), dan US (15.2%), yang totalnya mencapai 73%. Perdagangan diprediksi terus meningkat seiring tren peningkatan konsumsi ikan/kapita, yang dalam kurun 30 tahun meningkat dari 11,5 kg/kapita/tahun menjadi 17 kg/kapita/tahun. Namun kita saat ini sudah ketinggalan dari Thailand dan Vietnam. Ekspor Thailand sudah lebih dari 4 milyar USD, Vietnam 3,7 milyar USD (2007), dan kita baru sekitar 2,5 milyar USD. Nilai ekspor produk perikanan China pada tahun 2001 adalah sekitar 4 milyar USD, namun nilai ini terns meningkat hingga pada tahun 2006 melebihi 9,15 milyar USD. Nilai ini mencapai 11% dari total nilai ekspor perikanan
dunia. Sementara negara pengekspor terbesar kedua yaitu Norwegia masih tertinggal jauh dari China yaitu memiliki nilai ekpor 5,54 milyar USD atau sekitar 6% dari nilai total ekspor perikanan dunia. Thailand memiliki nilai ekspor perikanan dunia yang mendekati Norwegia yaitu 5,24 milyar USD (6%). Angka ini menunjukkan bahwa China sangat maju dalam perdagangan perikanan dunia dan menguasai pangsa pasar yang sangat besar. Sementara nilai ekspor perikanan dunia negara-negara lainnya pada tahun 2006 adalah USA sebesar 4,19 milyar USD, Denmark sebesar 4
milyar USD, Kanada sebesar3,68 milyar USD, Chile sebesar 3,64 milyar USD, Vietnam sebesar 3,36 milyar USD, Spanyol sebesar 2,87 milyar USD, Belanda sebesar 2,84 milyar USD, dan Indonesia sebesar 2,1 milyar USD. Struktur pasar ekspor perikanan dunia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa 25,7% ekspor perikanan diserap oleh pasar UE, 21,1% diserap oleh pasar Jepang, dan 20,4% diserap oleh pasar USA.
Bagaimana ekspor lndonesia 2030? Dengan asumsi rata-rata pertumbuhan volume ekspor setiap tahun adalah 7% maka volume ekspor pada tahun 2020 akan mencapai 2,8 juta ton dengan nilai ekspor adalah 4,2 milyar USD. Pada tahun 2030 volume ekspor akan mencapai 5,1 juta ton dengan nilai produksi adalah 7,7 milyar USD. Data ini didasarkan pada asumsi tidak ada kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough). Bila ada terobosan baru, sangat dimungkinkan volume dan nilai ekspor tersebut akan meningkat tajam. Namun, UE, Jepang, dan Amerika sama-sama menerapkan syarat yang makin ketat, karena terkait dengan keamanan pangan (food safety). Inilah yang akan menghambat perdagangan perikanan kita.
Sementara itu isu subsidi juga mengancam. Menurut APEC (2000) nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 milyar US dolar dan mencakup 70% negara-negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 milyar US dolar untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta WTO menghitung masing-masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 milyar US dolar. Ini dianggap membahayakan perdagangan bebas dan menyebabkan over-eksploitasi. Namun kebijakan subsidi ini masih sangat penting untuk diterapkan untuk mendorong kinerja sektor perikanan, dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana, subsidi bahan bakar terutama untuk perikanan artisanal. Diakui bahwa, lndonesia perlu mengurangi bentuk-bentuk subsidi yang langsung bersentuhan dengan industri perikanan, namun pengurangan harus dilakukan secara bertahap, karena tanpa dukungan pemerintah yang kuat, sektor perikanan terutama perikanan laut lepas akan sulit untuk berkembang.
Buku ini mencoba memotret status globalisasi perikanan baik produksi, pengelolaan sumberdaya, maupun perdagangan, serta implikasinya bagi dunia ketiga khususnya Indonesia. Potret
tersebut diharapkan dapat menjadi dasar bagi kebijakan pemerintah lndonesia serta strategi advokasi dan diplomasi intemasional. Dalam menghadapi globalisasi perikanan di atas, beberapa langkah perlu ditempuh: (1) peningkatan kualitas diplomasi perikanan, baik untuk mengatasi hambatan pengelolaan sumberdaya maupun perdagangan, (2) peningkatan mutu melalui pengembangan
teknologi produksi maupun laboratorium uji mutu, (3) mempertahankan subsidi perikanan untuk perikanan skala kecil, (4) perbaikan fisheries management, baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun demikian, sebagai sebuah pengantar, buku ini tidak berpretensi menjawab seluruh persoalan globalisasi perikanan. Keterbatasan waktu serta kemampuan penulis lah yang menyebabkan buku kecil ini penuh keterbatasan. Namun demikian, setidaknya ini dapat menjadi awal yang baik untuk mulai memikirkan kembali posisi lndonesia dalam peta globalisasi perikanan dunia.
Artikel ini juga dimuat di Global Justice Update Tahun ke-7 Edisi Khusus Pilpres 2009
Sumber : http://www.globaljust.org
Semua negara produsen perikanan sangat tergantung pada suplai BBM. Globalisasi produksi terasa tatkala semua negara kini merasakan krisis faktor produksi yang sama, seperti krisis energi. Harga BBM yang mencapai lebih dari 140 USD/barel tentu memukul usaha perikanan tangkap.
Pauly et.al memprediksi bahwa perikanan dunia telah mengkonsumsi 50 milyar liter bahan bakar atau 1,2% konsumsi dunia untuk menghasilkan 80 juta ton ikan. Jadi, untuk menangkap satu ekor ikan butuh 0,62 liter BBM. Rasio ikan/liter bahan bakar ini tentu lebih tinggi dari produksi protein hewani lainnya. Di Amerika Serikat, telah dihitung bahwa trawl butuh satu liter BBM/kilogram ikan, sementara gillnet sepertiga literlkilogram, dan purse seine 0,03 liter/kilogram. Dengan sendirinya trawl dimana-mana diprediksi akan makin menurun. Di Vietnam, pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan mencapai 52% (trawl), 40% longline, 20% (purse seine).
Di Indonesia juga kurang lebih sama. Tentu globalisasi produksi juga terkait dengan dengan globalisasi investasi dimana masuknya kapal dan industri perikanan asing seolah tak terelakkan. Kerugian kita dari illegal fishing mencapai 1-4 milyar rupiah/kapal/tahun, dan ada sekitar
1000 kapal yang dapat dikategorikan ilegal, sehingga kerugian mencapai 1-4 triliun rupiah/tahun. Namun berbagai kebijakan anti kapal asing belum memberikan hasil yang maksimal.
Sementara itu globalisasi pengelolaan sumberdaya juga mengemuka karena munculnya opini global bahwa perikanan dunia dalam kondisi kritis, sehingga perlu pengelolaan bersama. Baik NSB maupun NM dituntut untuk tunduk pada aturan-aturan intemasional tentang bagaimana mengelola sumberdaya
supaya lestari, kalau tidak mau dituduh melakukan IUU (illegal, unregulated,unreported) Fishing, termasuk di dalamnya pencurian ikan dan tangkapan yang tidak dilaporkan. Nilai IUU fishing di dunia kini nilainya telah mencapai 15 milyar USD. FAO mencatat sekitar 30% hasil tangkapan ikan-ikan tertentu di dunia tergolong IUU fishing. Di Afrika bisa mencapai 50%. Di UE, IUU masih berlangsung karena bisa menghemat 20% produksi dari pada praktek yang legal. Saat ini Uni Eropa (UE) yang paling gencar membasmi karena ternyata 9% produk impor LIE berasal dari IUU fishing. Karena itu EU menerapkan EU Catch Certification Scheme yang akan mengontrol produk-produk ikan yang masuk ke pasar EU.
Kini kita harus menjadi anggota RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations) atau komisi pengelolaan perikanan regional, kalau kita hendak menangkap ikan di wilayah tersebut. Seperti, untuk menangkap tuna di samudera Hindia kita harus menjadi anggota IOTC (Indian Tuna Commission), juga CCSBT (Convention of Conservation for Southers Bluefin Tuna), dan di Pasifik kita harus menjadi anggota WCPFC (Western Central Pacific Fisheries Committee). Kalau kita tidak menjadi anggota RFMOs tersebut maka akan dianggap ilegal, dan produk kita akan diembargo di pasar internasional. Embargo untuk tuna sirip biru kita berlaku di Jepang sejak tahun 2005 karena kita tidak menjadi anggota CCSBT. Padahal, spawning ground tuna tersebut ada di wilayah selatan Indonesia, yang mestinya kita berhak atas tuna tersebut. Jepang yang tidak punya akses langsung ke perairan CCSBT maupun IOTC temyata dominan. Begitu pula UE yang tidak punya akses langsung ke perairan WCPFC juga kuat. Namun kini kita sudah menjadi anggota kedua RFMO tersebut. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dunia adalah masalah politik intemasional, dan tidak hanya masalah teknis.
Isu ketiga adalah globalisasi perdagangan dan isu subsidi. Pada tahun 2007, ekspor produk perikanan dunia mencapai 93 milyar USD dan tumbuh sekitar 9%, dan kontribusi NSB dan NM sama, yakni 50-50. NSB menikmati penerimaan bersih sekitar 25 milyar USD dari ekspornya. Pasar dunia terbesar LIE (42.7%), Jepang (15.6%), dan US (15.2%), yang totalnya mencapai 73%. Perdagangan diprediksi terus meningkat seiring tren peningkatan konsumsi ikan/kapita, yang dalam kurun 30 tahun meningkat dari 11,5 kg/kapita/tahun menjadi 17 kg/kapita/tahun. Namun kita saat ini sudah ketinggalan dari Thailand dan Vietnam. Ekspor Thailand sudah lebih dari 4 milyar USD, Vietnam 3,7 milyar USD (2007), dan kita baru sekitar 2,5 milyar USD. Nilai ekspor produk perikanan China pada tahun 2001 adalah sekitar 4 milyar USD, namun nilai ini terns meningkat hingga pada tahun 2006 melebihi 9,15 milyar USD. Nilai ini mencapai 11% dari total nilai ekspor perikanan
dunia. Sementara negara pengekspor terbesar kedua yaitu Norwegia masih tertinggal jauh dari China yaitu memiliki nilai ekpor 5,54 milyar USD atau sekitar 6% dari nilai total ekspor perikanan dunia. Thailand memiliki nilai ekspor perikanan dunia yang mendekati Norwegia yaitu 5,24 milyar USD (6%). Angka ini menunjukkan bahwa China sangat maju dalam perdagangan perikanan dunia dan menguasai pangsa pasar yang sangat besar. Sementara nilai ekspor perikanan dunia negara-negara lainnya pada tahun 2006 adalah USA sebesar 4,19 milyar USD, Denmark sebesar 4
milyar USD, Kanada sebesar3,68 milyar USD, Chile sebesar 3,64 milyar USD, Vietnam sebesar 3,36 milyar USD, Spanyol sebesar 2,87 milyar USD, Belanda sebesar 2,84 milyar USD, dan Indonesia sebesar 2,1 milyar USD. Struktur pasar ekspor perikanan dunia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa 25,7% ekspor perikanan diserap oleh pasar UE, 21,1% diserap oleh pasar Jepang, dan 20,4% diserap oleh pasar USA.
Bagaimana ekspor lndonesia 2030? Dengan asumsi rata-rata pertumbuhan volume ekspor setiap tahun adalah 7% maka volume ekspor pada tahun 2020 akan mencapai 2,8 juta ton dengan nilai ekspor adalah 4,2 milyar USD. Pada tahun 2030 volume ekspor akan mencapai 5,1 juta ton dengan nilai produksi adalah 7,7 milyar USD. Data ini didasarkan pada asumsi tidak ada kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough). Bila ada terobosan baru, sangat dimungkinkan volume dan nilai ekspor tersebut akan meningkat tajam. Namun, UE, Jepang, dan Amerika sama-sama menerapkan syarat yang makin ketat, karena terkait dengan keamanan pangan (food safety). Inilah yang akan menghambat perdagangan perikanan kita.
Sementara itu isu subsidi juga mengancam. Menurut APEC (2000) nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 milyar US dolar dan mencakup 70% negara-negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 milyar US dolar untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta WTO menghitung masing-masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 milyar US dolar. Ini dianggap membahayakan perdagangan bebas dan menyebabkan over-eksploitasi. Namun kebijakan subsidi ini masih sangat penting untuk diterapkan untuk mendorong kinerja sektor perikanan, dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana, subsidi bahan bakar terutama untuk perikanan artisanal. Diakui bahwa, lndonesia perlu mengurangi bentuk-bentuk subsidi yang langsung bersentuhan dengan industri perikanan, namun pengurangan harus dilakukan secara bertahap, karena tanpa dukungan pemerintah yang kuat, sektor perikanan terutama perikanan laut lepas akan sulit untuk berkembang.
Buku ini mencoba memotret status globalisasi perikanan baik produksi, pengelolaan sumberdaya, maupun perdagangan, serta implikasinya bagi dunia ketiga khususnya Indonesia. Potret
tersebut diharapkan dapat menjadi dasar bagi kebijakan pemerintah lndonesia serta strategi advokasi dan diplomasi intemasional. Dalam menghadapi globalisasi perikanan di atas, beberapa langkah perlu ditempuh: (1) peningkatan kualitas diplomasi perikanan, baik untuk mengatasi hambatan pengelolaan sumberdaya maupun perdagangan, (2) peningkatan mutu melalui pengembangan
teknologi produksi maupun laboratorium uji mutu, (3) mempertahankan subsidi perikanan untuk perikanan skala kecil, (4) perbaikan fisheries management, baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun demikian, sebagai sebuah pengantar, buku ini tidak berpretensi menjawab seluruh persoalan globalisasi perikanan. Keterbatasan waktu serta kemampuan penulis lah yang menyebabkan buku kecil ini penuh keterbatasan. Namun demikian, setidaknya ini dapat menjadi awal yang baik untuk mulai memikirkan kembali posisi lndonesia dalam peta globalisasi perikanan dunia.
Artikel ini juga dimuat di Global Justice Update Tahun ke-7 Edisi Khusus Pilpres 2009
Sumber : http://www.globaljust.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar