Sabtu, 18 Desember 2010

Geo-Strategi

Krisis Hegemoni
Menguatnya Geopolitik Tripolar Runtuhnya Uni Sovyet sebenarnya tidak dengan sendirinya menjadikan AS dan sekutunya sebagai kekuatan hegemonik tunggal. Situasi yang terjadi justeru apa yang disebut sebagai krisis hegemoni. Krisis ini ditandai oleh tiga hal berbeda, tetapi saling berhubungan yaitu peningkatan konflik sosial, kompetisi yang intensif antar-perusahaan dan antar-negara, dan kemunculan kekuatan-kekuatan dan aliansi-aliasi baru. Dengan perkataan lain, berakhirnya Perang Dingin tidak memunculkan stabilitas monolitik, tetapi menyebabkan terjadinya serangkaian krisis dalam sistem politik dunia. Krisis hegemoni AS saat ini disebabkan bukan oleh adanya tantangan militer yang secara serius mengancamnya, melainkan oleh semakin terkonsentrasinya AS dalam kegiatan yang mengarah kepada peningkatan sumber daya militernya.

Peningkatan itu dilakukan agar AS dapat bertindak sebagai "Polisi Dunia", khususnya setelah keruntuhan Uni Soviet yang berakibat pada sentralisasi kapabilitas militer global ke tangan AS. Di lain sisi, ekspansi itu tidak disertai oleh dukungan persediaan sumber daya finansial global akibat pergeseran akumulasi finansial global ke pasar-pasar yang lebih menjanjikan dalam tingkat kompetisi akumulasi kapital (Giovanni Arrighi & Beverly J.. Silver, 1999: 276). Keruntuhan Uni Soviet pada satu sisi memunculkan kesempatan bagi AS menjadi pemain tunggal untuk melakukan penyebaran kemampuan militernya.

Namun, pada sisi yang lain, berdampak pula terhadap perubahan hubungan AS dengan sekutu-sekutu militer terdekatnya. Keruntuhan Soviet menyebabkan hubungan AS dengan sekutu-sekutunya tidak sedekat dulu lagi karena payung militer untuk menghadapi ancaman perang terbuka semakin tidak relevan. Sebagai hasilnya, pertimbangan finansial secara bertahap kemudian menjadi fokus utama manajemen militer AS dan Barat yang berpengaruh terhadap menurunnya hegemoni AS.

Penurunan itu bisa dilihat misalnya dalam kasus NATO. NATO merupakan alat hegemoni AS terpenting pada masa Perang Dingin. Namun runtuhnya Soviet menyebabkan NATO kehilangan misinya dan mendorong pemerintahan presiden Clinton untuk mengurangi porsi anggaran AS dalam anggaran NATO.

Sementara, integrasi Eropa sendiri semakin mengurangi kemungkinan terjadinya perang terbuka di antara negara- negara Eropa dan secara otomatis mengurangi peran NATO sebagai payung keamanan mereka. Dalam perkembangannya kemudian, NATO lebih menjadi alat untuk memaksakan pelaksanaan privatisasi dan liberalisasi ekonomi demi kepentingan pasar bebas daripada pertimbangan politik dan keamanan (Giovanni Arrighi & Beverly J. Silver, 1999: 277). Ini bisa dilihat pada sikap politik negara-negara Eropa Timur (Hongaria, Rumania atau Bulgaria – anggota baru NATO).
Pada akhirnya, bagi negara-negara tersebut, menjadi anggota NATO hanya merupakan batu loncatan untuk bergabung dalam Uni Eropa. Pasca keruntuhan komunisme sebagai ideologi internasional, mulai tampak adanya persaingan di antara negara-negara Barat yang menganut paham demokrasi. AS, Inggeris, Canada, Australia dan Selandia Baru–yang penduduknya mayoritas dari ras/etnis Anglo Saxon dan berbahasa Inggeri–tampak makin ingin mendominasi geopolitik dan geoekonomi internasional sebagai kelanjutan dari kerjasama mereka di bidang intelijen sejak tahun 1947. Perjanjian intelijen itu disebut perjanjian UKUSA (United Kingdom, United States, Australia) dan kemudian diperluas dengan melibatkan pula Canada dan Selandia Baru. Inti dari komunitas intelijen UKUSA ini adalah satelit mata-mata Echelon. (Jeffrey T. Richelson & Desmond Ball; The Ties That Bind; 1985).

Dapat dikatakan bahwa komunitas UKUSA ini adalah metamorfosis dari Pax Britanica abad 19 menjadi Pax Americana pada awal abad 21. Di pihak lain, Uni Eropa makin mempererat kerjasama di antara para anggotanya yang telah dimulai sejak tahun 1951 dengan pendirian Komunitas Batubara dan Baja Eropa, yang kemudian berujung pada penerbitan mata uang bersama yang disebut Euro pada tahun 2001. Dari sudut pandang ini dapat kiranya dipahami jika kemudian Uni Eropa menjadi salah satu kekuatan yang mencegah AS menjadi hegemon tunggal dalam sistem politik dunia. Kasus paling mutakhir konflik antara Uni Eropa dan AS adalah pertentangan di antara keduanya dalam soal pencabutan subsidi untuk pertanian pada pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Hongkong tahun 2005 yang lalu. Ketika AS bersikeras menolak untuk mencabut subsidi bagi petani Amerika, Perancis dan beberapa anggota Uni Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama.

Sebelum pertikaian di WTO, antara tahun 1993 dan 2004, ada pula kasus yang sangat menarik yaitu dirobohkannya berbagai base station satelit mata-mata Echelon yang terletak di berbagai negara anggota Uni Eropa. Posisi Uni Eropa juga semakin jelas setelah Linux (produk open source Uni Eropa) digunakan untuk menggantikan Microsoft
(produk AS) sebagai operating system pada pusat pengolahan data Bank Sentral Eropa dengan dalih adanya kebocoran data dari pusat data Bank Sentral Eropa. Secara singkat bisa dikatakan bahwa dewasa ini sedang terjadi kemunculan ulang semangat Pax Romana di tengah negara-negara Uni Eropa, meskipun di sana-sini tetap terasa adanya persaingan kultural di antara anggota-anggota Uni Eropa.

Selain Uni Eropa, di kawasan Asia juga muncul Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang beranggotakan China, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan, ditambah Iran, India, Pakistan, Turkmenistan dan Mongolia sebagai peninjau. SCO yang didirikan pada Juni 2001 merupakan perluasan dari Shanghai Five yang didirikan pada 1996. Shanghai Five beranggotakan China, Russia, Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Tajikistan, yang kemudian ditambah dengan Uzbekistan. Semula, Uzbekistan adalah sekutu AS yang tergabung di dalam GUUAM, yaitu Georgia, Ukraina, Uzbekistan, Azerbaijan dan Moldova. Pada pertemuan bulan Juli 2005, SCO sepakat menolak "monopolizing or dominating international affairs" dan menuntut dengan tegas "non-interference in the internal affairs of sovereign states."

SCO menjadi kekuatan geopolitik yang penting diperhitungkan karena beberapa alasan mendasar. Pertama, empat negara anggota SCO adalah pemilik senjata nuklir. Kedua, jumlah total penduduk anggota tetap dan anggota peninjau SCO lebih dari setengah jumlah penduduk dunia, sehingga akan menjadi pasar yang paling besar dengan economies of scale yang sangat memadai, ditambah dengan posisi China sebagai pemilik cadangan devisa terbesar di dunia saat ini. Ketiga, negara-negara anggota SCO memiliki latar belakang kultural-historis kekuatan imperium di masa lalu. China saat ini berdiri kokoh sebagai kelanjutan imperium Han. Rusia juga mewarisi watak imperium Rusia yang berkibar pada abad ke-14. Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Usbekistan berlatar belakang imperium Timur Leng. India hari ini berdiri di atas kebesaran masa lalu imperium Chandragupta. Pakistan adalah ahli waris imperium Mogul. Mongolia dapat pula dilihat sebagai kelanjutan imperium Jenghiz Khan. Sedangkan Iran adalah penerus imperium Manichaeisme Darius dan imperium Safawi Syi'ah. Menarik untuk disimak bahwa pada bulan Juli 2001, tiga bulan sebelum terjadinya peristiwa 911/WTC di New York, negara-negara anggota SCO telah menandatangani perjanjian "mutual fight against terrorism, fundamentalism and extremism".

Perjanjian itu menunjukkan bahwa SCO memiliki aparat intelijen yang cukup mampu mengantisipasi peristiwa-peristiwa penting dunia. Perjanjian investasi di bidang eksploitasi minyak mentah antara Cina dan Nigeria yang ditandatangani pada tanggal 26 April 2006, perjanjian jual-beli gas alam antara Rusia dan Jerman yang ditandatangani pada tanggal 27 April 2006, serta perjanjian jual-beli minyak mentah, gas alam, sistem alat utama pertahanan maupun kerjasama di bidang antiterorisme antara Cina dan 22 negara anggota Liga Arab yang ditandatangani pada tanggal 30 Mei 2006 menunjukkan pula agresivitas SCO dalam memperluas wilayah pengaruhnya secara geopolitik dan geoekonomi.

Kekuatan lain yang juga potensial mendorong tata dunia multipolar adalah Amerika Latin. Di kawasan ini, sekarang, berdiri kokoh negara-negara ultra nasionalis baru dengan presiden yang cenderung anti dominasi Amerika Utara. Hugo Chavez (terpilih sebagai Presiden Venezuela tahun 1998), Lula Da Silva (Brazil, terpilih tahun 2001), Nestor Kirchner (Argentina, terpilih tahun 2003), Martin Torrijos (Panama, terpilih tahun 2004), Tabare Ramon Vasquez (Uruguay, terpilih tahun 2005), Evo Morales (Bolivia, terpilih tahun 2005), dan yang terakhir Michelle Bachelet (Chili, terpilih 2006). Munculnya klub pemimpin anti-AS di Amerika Latin saat ini tidak lepas dari tiga fakta penting:

1.Chavez dan kawan-kawan adalah produk dari nilai Kelatinan berwatak ultra-nasionalis yang dibangun oleh para pendahulu mereka sejak tahun 1960-an seperti Andre Gunder Frank di bidang ekonomi, Octavio Paz di bidang antropologi dan sosiologi, Pablo Neruda dan Gabriel Marquez di bidang kebudayaan. Di tahun 1970-an, muncul ahli ekonomi mazhab strukturalis, Raoul Prebisch, yang di susul pada tahun 1980-an oleh ekonom Hernando de Soto. Mereka dengan giat menyerukan bahwa baik pemikiran Adam Smith (kapitalisme) maupun Karl Marx (komunisme) tidaklah cocok dengan kondisi Amerika Latin. Oleh karenanya negara-negara Amerika Latin harus mencari bentuk dan sistem ekonominya sendiri.

2.sejak tahun 1960-an, negara-negara di Amerika Latin dipimpin oleh para diktator lalim yang didukung AS. Hal ini menyebabkan kejengkelan laten rakyat di banyak negara Amerika Latin.

3.gerakan-gerakan kemandirian rakyat Amerika Latin dipayungi oleh sayap kiri Gereja Katolik Amerika Latin dengan pertumbuhan pemikiran Teologi Pembebasan yang dipelopori oleh Uskup Dom Helder Camara, Gustavo Gutierrez dan rekan-rekan seperjuangannya.

Munculnya pemimpin-pemimpin ultra nasionalis baru di Amerika Latin dengan sendirinya berdampak pada menurunnya pengaruh AS di kawasan ini. Dalam usaha untuk meraih kembali pengaruhnya di Amerika Latin, pada bulan November 2005 lalu, pemerintah AS mengadakan KTT di Mar del Plata, Argentina. Dalam KTT ini, Presiden Bush mendesak dibentuknya zona perdagangan bebas yang membentang dari Alaska sampai ujung Argentina (FTAA). Namun, beberapa negara peserta KTT termasuk Argentina, Brazil, dan Venezuela menentang usulan ini. KTT pun berakhir tanpa ada hasil. Namun terpilihnya presiden Alan Garcia yang didukung oleh Amerika Serikat di Peru pada tanggal 5 Juni 2006 menunjukkan tanda bahwa faksi pro Amerika Serikat di anak benua Amerika Latin perlahan-lahan mulai berhasil menahan momentum gerakan faksi ultra nasionalis yang dipimpin oleh Venezuela. Munculnya aliansi-aliansi strategis di Eropa, Asia Tengah dan Amerika Latin menunjukkan bahwa provokasi Fukuyama dan teori Huntington menjadi tidak relevan. Sejarah belum berakhir. Sosialisme bangkit dengan berbagai revisi dan akomodasi terhadap pasar. Kapitalisme juga diimplementasikan dalam berbagai varian mazhab seperti di Perancis, Jerman, Belanda dan negara-negara Scandinavia, serta tentunya juga di Cina yang mengadopsi kapitalisme dan sosialisme sekaligus sebagai sistem ekonominya dengan semboyan "satu negara dua sistem".

Perbedaan latar belakang kultural-historis tidak menghalangi Iran yang Syi'ah dan Pakistan yang Sunni untuk bergabung dengan blok Cina yang Konfusius dan Rusia yang separuh sekuler dan separuh Katolik Ortodoks. Aliansi-aliansi strategis yang melampaui sekat peradaban dan bersifat supranasional itu bersatu di bawah a single logic of rule. Aliansi serupa ini oleh Antonio Negri dan Michael Hardt (2001) disebut sebagai Empire atau Imperium.

Kesimpulan
Kehadiran Komunitas UKUSA, Uni Eropa, dan SCO yang disertai dengan segala konflik kepentingan politik dan kepentingan ekonomi di antara mereka dapat menjadi indikasi bahwa peta geopolitik saat ini bisa dikatakan tengah bergeser dari geopolitik unipolar ke geopolitik tripolar. Jika Amerika Latin dapat mengkonsolidasikan kesatuan kebudayaannya yang berumur ratusan tahun menjadi kesatuan ekonomi yang kokoh, dapat pula dikatakan bahwa dunia tengah bergeser ke arah geopolitik multipolar.

Indonesia: Kemana Harus Bergerak?

Dilihat dari produk undang-udang yang dihasilkan oleh DPR dan pemerintah dan dari kebijakan yang dilaksanakan, terlihat jelas bahwa ekonomi dan politik Indonesia masih dipengaruhi secara kental oleh intervensi luar, khususnya AS. Fakta ini merupakan indikasi bahwa Indonesia adalah sekutu AS secara langsung maupun tidak langsung. Undang Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, misalnya, mengizinkan pihak swasta (perusahaan multinasional) mengelola sektor migas baik di hulu maupun hilir, seperti tertuang pada pasal 9 ayat (1). Sementara badan usaha yang sudah melakukan kegiatan di sektor hulu, yaitu Pertamina, tak diijinkan melakukan kegiatan yang sama di sektor hilir (Pasal 10, ayat 1). Dari sudut Undang-Undang Dasar 1945, pengaruh luar dalam pembuatan kebijakan dan juga kesediaan para pemimpin untuk didikte pihak asing merupakan pelanggaran terhadap politik luar negeri yang bebas aktif sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Swastanisasi sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti air, listrik dan migas, juga merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 terutama pasal 33. Di satu sisi, pelanggaran terhadap UUD 1945 tersebut merupakan preseden yang sangat buruk bagi kehidupan politik bangsa di masa mendatang. Pelanggaran terhadap hukum tertinggi (konstitusi) sebenarnya merupakan penghancuran terhadap sendi-sendi kehidupan bernegara yang paling dasar..

Di sisi lain, apa yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa kalangan pengambil keputusan tertinggi negara terlihat masih terperangkap dalam "mentalitas Perang Dingin". Akibatnya, pergeseran peta geopolitik dunia tidak bisa dibaca dengan baik oleh mereka. Jika para pengambil kebijakan itu bisa membaca dengan seksama munculnya kekuatan-kekuatan baru dalam percaturan geopolitik internasional, tentu mereka dapat belajar dan bertindak lain. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat tidak seperti yang terlihat sekarang ini: merugikan kepentingan nasional (national interest) dan melanggar konstitusi negara.

Fakta geopolitik tripolar dalam sistem dunia saat ini sebenarnya memberi ruang yang sangat terbuka bagi bangsa-bangsa Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, untuk menata kembali sistem ekonomi politiknya dan politik luar negerinya secara bebas aktif dan mandiri. Kemandirian itu sangat penting untuk menjaga tujuan dan kepentingan nasional sehingga seluruh kebijakan negara itu bersumber pada aspirasi masyarakat secara nasional dan ditegakkan untuk kepentingan seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, empat cita-cita kemerdekaan bangsa adalah (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4) ikut melaksanakan perdamaian dunia. Jadi, seyogyanya sudah sangat jelas alur pikiran dan semangatnya bagi semua warganegara Indonesia, kecuali, tentunya, bagi mereka yang sengaja menafikan dan melanggarnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak asing.***

REFERENSI:

Anderson, Benedict R O'G, "Old State, New Society: Indonesia's New Order in Comparative Historical Perspective," Journal of Asian Studies, Vol. XLII, No. 3, Mei 1983.

Arrighi, Giovanni & Beverly J. Silver, Chaos and Governance in the Modern World System, London: University of Minnesota Press, 1999.

Bamyeh, Mohammed A, The Ends of Globalization, London: University of Minnesota Press, 2000.

Barber, Benjamin, Jihad vs. McWorld, New York, Ballantine Books, 1996

Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina & Pustaka Antara, 1999.

Bulkin, Farchan, "Negara, Masyarakat dan Ekonomi", Prisma, No. 8, 1984.

Chomsky, Noam, Rogue State: The Rule of Force in World Affairs, London: Pluto Press, 2000

Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man, New York: Avon Books, 1992.

Munck, Ronaldo, "Deconstructing Development Discourses: The Impasses, Alternatives and Politics", dalam Ronaldo Munck & Denis O'Hearn (eds.), Critical Development Theory: Contributions to a New Paradigm, London & New York: Zed Books, 1999.

Negri, Antonio & Michael Hardt, Empire, Cambridge, Massachusetts, Harvard University Press, 2001..

Richelson, Jeffrey T.. & Desmond Ball, The Ties That Bind: Intelligence Cooperation Between the UKUSA Countries, London: Allen & Unwin 1985.

Robison, Richard, Indonesia: The Rise of Capital, North Sydney: Allen & Unwin, 1986.

Sundhaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar